Pages

Subscribe:

Labels

Saturday, 26 April 2014

Cinta yang SALAH ( cerpen amatir )

Sunyi,, ya memang sunyi, namun tidak berarti sendiri, karena sunyi bukan berarti kita sendiri. Kesunyian memang bukan karena tidak ada hal yang lain, namun karena kita tidak memahaminya, bukan tidak... tapi belum.
Dulu aku berfikir, akankah dunia selamanya akan diam kepada ku, mengapa dunia tidak ingin bernyanyi padaku, mengapa mereka diam ? sebenarnya apa yang sedang mereka bicarakan? Aku hanya bisa marah kepada diriku sendiri. Aku ungkapkan pun belum tentu mereka mengerti.
Apakah terlahir seperti ini itu pilihan ? tidak ada yang bisa menjawabnya. Mereka menjawab pun aku tak akan dengar.
Ingin rasanya aku bercerita seperti layaknya gadis – gadis yang lain, bermain, bercanda, bernyanyi, bergurau, namun itu hanya impian yang harus ku buang jauh dari hati ini, karena aku tau itu semua tidak akan terjadi.
Namun seiring berjalannya waktu, umurku pun tak terasa sudah semakin dewasa , sudah seharusnya aku menerima semua nya, walau sebelumnya aku berharap semua akan berubah suatu saat nanti. Aku berfikir jika aku hanya terus mengeluh dan menyesal, semuanya tidak akan pernah berubah, takdir ini tidak akan berubah jika bukan aku sendiri yang mengawalinya. Aku tidak berharap lebih sekarang, yang aku ingin hanya membahagiakan mereka, mereka yang telah merawat ku, membesarkan ku, menyayangiku layaknya anak mereka sendiri.
Aku terlahir cacat, dan yatim piatu. Ayah ku meninggal saat aku masih dalam rahim ibu ku, ibu ku meninggal sesaat setelah melahirkan ku. Mungkin itu sedikit mengerikan, namun memang begitu nyatanya. Andai saja aku memiliki kesempatan untuk kembali ke masa lalu melihat senyum manis mereka, ahhhh...tapi ya sudah lah, mungkin hanya lewat foto tua saat pernikahan mereka saja aku dapat melampiaskan rasa rinduku ini pada mereka.
Bibi ku mengelus rambut ku, lalu dia berbicara dengan menggunakan bahasa insyarat itu, karena hanya itu bahasa yang dapat digunakan sebagai alat untuk berbicara dengan ku. Bibi  bilang “ Sinta, hari sudah semakin larut, tidak baik untuk kesehatan kamu jika terus duduk didepan jendela”, dengan raut wajah yang lembut hingga aku tak dapat menolaknya. Aku menganggukkan kepala dan berjalan beberapa langkah menuju ranjangku. Ia menyelimuti ku dan mencium keningku dengan senyum manis yang tersirat diraut wajah itu, dan aku hanya berharap bahwa dia adalah ibu ku. Tanpa sadar aku pun tertidur pulas.
***
Pagi datang, embunpun menghilang membuat jejak di setiap helai dedaunan, sinar matahari pun mulai tampak dari ufuk timur, yang sinarnya menatap ku dari celah pepohonan. Segera ku bergegas ke kamar mandi dan bersiap – siap untuk berangkat ke sekolah seperti biasanya. Usaiku berpakaian segera ku menuju meja makan, ku lihat bi Yani, paman Dayat (suami bi Yani), Doni dan Riska (anak bi Yani dan paman Dayat) sudah siap untuk menyantap sarapan pagi ini, memang mereka terlihat seperti keluarga harmonis. Tapi di satu sisi aku melihat ada raut wajah yang menunjukkan bahwa dia sedang marah dengan mulut yang menggumam dan tatapan mata sinis yang sepertinya ditujukan pada ku, riska memang sedikit tidak menyukaiku, entah apa alasannya dia sering memaki ku. Dengan cepat ku duduk di kursi yang kosong diantara bik yani dan Doni, segera bik Yani mengambilkan ku nasi dan lauk dengan senyuman yang sama. Tapi kulihat di sudut sana ada Riska yang melihat ku dengan tatapan yang tajam. Bik Yani berbicara kepada Riska,”Riska, kamu ambil nasi sendiri ya karena tangan mama tidak sampai” (berbicara dengan lembut) walau aku tak bisa mendengarnya namun aku bisa membaca gerak bibir dari bik yani. Sebenarnya aku merasa tidak enak hati karena aku merasa ada rasa iri di hati Riska, namun aku juga tidak bisa menolak kebaikan bik Yani.
Setelah sarapan kami langsung mulai dengan kesibukan kami masing – masing, Doni yang masih kelas 3 SMA dan Riska kelas 1 SMA pergi kesekolah bersama naik kendaraan umum, bik Yani yang langsung membereskan bekas sarapan , dan paman Dayat yang bersiap untuk berangkat kerja sebagai tukang bangunan dan sekaligus mengantarkan aku ke sekolah. Umur ku sama seperti Riska, namun sekolah kita berbeda, karena aku sekolah di Sekolah khusus untuk penyandang cacat. Aku tidak mempunyai banyak teman di sekolah karena aku sulit untuk berinteraksi dengan mereka. Aku lebih sering menyendiri di depan jendela kelas dan menatap ke arah jalanan yang ada di depan sekolah ku, karena kelas ku berada di lantai 2 jadi aku dapat dengan jelas melihat ramainya jalanan.
***
Aku duduk di halte bus yang ada tepat di depan sekolah ku sembari menunggu paman menjemputku. Biasanya paman menjemputku di waktu jam istirahatnya. Namun entah mengapa sudah 1 jam lebih paman belum datang juga, aku jadi kawatir jika terjadi sesuatu dengan paman. Aku masih duduk dan dengan melihat ke kanan dan ke kiri dan ke setiap sudut halte sambil berharap tidak terjadi apa – apa dengan paman. Tiba – tiba aku melihat  lelaki yang sedang berjalan ke arah ku, aku sedikit takut , aku berfikir jika dia berlaku jahat pada ku. Dan tanpa sadar dia sudah duduk di sisi kanan ku, aku pura – pura tidak melihatnya, sepertinya dia masih berumur 18 tahun. Aku terhentak karena dia memegang pundak ku, ternyata dari tadi dia memanggilku namun aku tidak mendengarnya. Dia bertanya pada ku “ Kenapa kamu belum pulang?” dengan raut wajah yang sedikit membuatku gugup. Lalu aku menjawab dengan bahasa isyaratku, “aku sedang menunggu paman” (dengan sedikit menyeringai). Tapi aku lihat dia tidak mengerti dengan apa yang aku katakan, lalu aku mengambil alat tulis dan segera menuliskan apa maksudku. Lalu dia senyum pada ku, aku pun membalasnya. Tidak lama setelah itu dia memperkenalkan nama nya pada ku dengan menulis dibuku yang sama, ternyata namanya adalah Andre, dan dia juga menanyakan namaku, aku juga menulisnya di lembar yang sama. Rasa takut ku mulai hilang dan berganti dengan rasa senang dan sedikit haru, karena ini adalah kali pertama aku berbicara dengan seorang laki – laki yang baik dengan ku selain dengan Paman dan Doni. Dan mulai saat itu kita berteman, dia kuliah di universitas negeri di kota ku, rumahnya ternyata juga tidak jauh dari rumah paman, hanya berbeda komplek saja. Baru kali ini aku bisa tertawa lepas, dan rasanya sangat menyenangkan. Dan di sela tawa kami tiba – tiba paman datang dan aku segera menghampirinya di pinggir halte, “ Maaf Sinta, paman telat menjemputmu, tadi paman harus menyelesaikan tugas dari bos paman, itu siapa?” (tanya paman dengan muka cemas), “ itu teman Sinta paman, dia juga sedang menunggu jemputan ayahnya” (jawabku). Aku segera naik ke atas motor sambil memakai helm yang dibawa paman ku, kulihat dia masih tersenyum pada ku, paman menyalakan motornya dan kami segera menuju ke rumah.
Sesampainya di rumah, bibi langsung menghampiriku, dia terlihat sangat kawatir, karena tidak biasanya aku pulang sampai sore. “Kamu dari mana saja nak? Bibi kawatir, kamu tidak apa – apa kan?” (tanya bibi sambil mengajakku masuk ke dalam rumah). tidak bi, aku tidak kenapa – kenapa kok” (jawabku sambil menenangkan bibi). “Tadi ayah ada kerjaan mendadak buk dari bos ayah waktu jam istirahat, dan tidak bisa digantikan dengan orang lain atau pun ditinggal, jadi ayah telat menjemput Sinta pulang sekolah, maaf ya buk sudah bikin ibu kawatir dirumah” (terang paman). “ Iya yah ibu maafin tapi lain kali beri kabar orang rumah biar gak takut lagi” (dengan ekspresi yang sedikit kesal dan bercampur dengan kawatir). Bibi langsung membawa ku ke kamar dan bibi bertanya tentang apa yang aku lakukan saat menunggu paman. Aku sebenarnya ragu ingin menceritakan yang sebenarnya, aku takut bibi marah, tapi aku tidak ingin membohongi bibi, lalu aku menceritakan semua nya. Awalnya bibi takut dan sedikit tidak yakin dengan Andre, karena bibi takut kalau andre itu bukan anak baik – baik, tapi aku coba jelaskan pada bibi tentang Andre,”Andre itu rumahnya tidak jauh dari rumah ini bi, dan dia tidak berprilaku jahat dengan ku, Andre malah nemenin Sinta buat nungguin paman bi, Andre buat Sinta ketawa karena cerita lucunya, dan Andre orangnya asik bi” (jelas ku dengan muka yang serius agar bibi yakin), “ Iya deh bibi percaya kalau teman baru kamu si Andre itu anak baik – baik, tapi inget jangan terlalu percaya dengan orang lain yang baru Sinta kenal, karena bahaya. Banyak orang jahat di luar sana yang harus kita waspadai. Inget pesen bibi, pokoknya Sinta harus hati – hati”(saran bibi untuk ku).
***
Entah mengapa aku ingin bertemu lagi dengan Andre, aku menunggunya di tempat kita pertama bertemu. di setiap mata memandang tak sedikitpun aku melihatnya, sepertinya dia tidak lewat jalan ini, karena sudah lama aku duduk dihalte ini namun dia belum menghampiriku juga. Apa dia sudah lupa dengan janjinya bahwa hari ini dia akan menemui ku lagi. Tapi mungkin saja dia sedang sibuk dengan jadwal kuliahnya yang padat. “Andre” kata yang ku ucap saat aku terhentak karena ada yang memegang tanganku, ketika ku lihat ternyata orang itu paman, untung saja kata itu tidak jelas didengar oleh paman. “Ayo pulang” (kata paman mengajakku pulang), aku menganggukkan kepala dan bergegas menghampiri sepeda motor paman. Walau halte sudah hampir tak tampak, namun aku masih memandanginya, berharap bahwa dia ada disana.
***
Hujan turun sangat deras malam ini, airnya masuk melalui celah – celah ventilasi jendela kamarku, kacanya pun sudah berembun. Malam ini adalah malam ke-17 sejak kita pertama kali bertemu, dan sejak saat itu pula aku belum melihatnya lagi. Ditengah tetesan hujan aku bertanya – tanya, sebenarnya kemana dia pergi? Apa dia menyesal karena berteman dengan ku? Apa dia malu? Apa yang sebenarnya terjadi dengannya? Aku kawatir dengan keadaannya.
***
Pertanyaan - pertanyaan itu selalu muncul setiap saat, dan membuatku untuk mulai mencarinya. Ku mulai mencari dari rumahnya, dan ternyata alamat yang ia berikan itu adalah palsu, tidak ada anak bernama Andre dirumah itu. Aku kecewa, mengapa dia tidak berkata jujur, aku hanya ingin punya teman yang baik, dan aku kira dia adalah orang yang tepat, namun ternyata salah.
Malam semakin terasa sepi dan bintang pun tak memancarkan sinarnya, lalu kepada siapa ku harus bertanya, sedang bintang sembunyi di balik gelapnya malam. Kini aku hanya bisa melihat tulisan pena saat kita pertama bertemu, walau hanya beberapa lembar saja, namun itu sudah cukup untuk mengobati rasa yang bergejolak ini.
***
Aku menunggu paman seperti biasanya, tapi jalanan sangat macet hari ini, karena diujung jalan ada genangan air setinggi lutut yang bisa membuat mesin kendaraan bermotor jadi berhenti. Mungkin kali ini paman akan terlambat lagi menjemputku. Banyak sekali aku melihat orang yang lebih memilih jalan kaki dibanding naik kendaraan umum yang macet. Dan tiba – tiba aku melihat ada seorang pria yang mengenakan topeng berbentuk smile diantara banyak orang yang sedang berlalu lalang, lucu tapi harus kutahan karena ku tak mau orang bertopeng itu tersinggung. Tapi kenapa orang itu malah duduk disampingku. Aku tidak berani melihatnya karena ku takut tak bisa menahan ketawa lebih lama lagi. Dan ternyata orang dibalik topeng itu adalah Andre, perasaanku semakin bercampur aduk antara senang dan kecewa. Ia meletakkan topeng smile itu di tanganku dengan wajah yang sangat lucu, dan dia menulis di sebuah kertas, “Jangan sedih lagi ya, aku disini, ini foto untuk Sinta,semoga bisa bermanfaat jika Sinta kangen sama Andre”.dibalik kertas ternyata ada foto Andre waktu masih kecil, aku bingung mengapa dia memberikan foto kecilnya, mengapa bukan foto Andre yang sekarang. “terima kasih” (jawab ku). Tapi dia tidak lama menemaniku, sepertinya dia sedang terburu – buru, “aku pergi dulu ya Sinta, sampai jumpa lagi” belum sempat ku jawab namum dia sudah tak ada lagi dihadapanku.
***
Aku selalu menceritakan apa yang aku alami kepada bibi, karena bibi yang selalu mengerti aku. Dan aku pun memberikan foto dari Andre kepada bibi, aku melihat ekspresi wajah bibi yang sepertinya mengenali anak yang ada di foto itu. “ini Andre kakak mu ,Sinta” ujar bibi pada ku. Aku masih belum percaya, tapi tidak mungkin bibi berbohong pada ku. Tak ku sangka aku mempunyai seorang kakak yang hampir saja aku jatuh cinta padanya. Tapi mengapa tidak ada yang menceritakannya padaku. Paman pun tak mengenalinya, mungkin karena paman melihatnya dari kejauhan, dan memang mereka sudah lama tak bertemu. dan bibi menceritakan semuanya . ternyata kakak ku tinggal dengan nenek, dan memang kami sengaja di pisahkan, tapi bibi tidak bilang alasannya.

Sejak saat itu aku tak pernah bertemu lagi dengan kak Andre, padahal aku ingin memeluknya walau hanya sekejap saja. Aku baru sadar bahwa masa lalu ku memang penuh misteri. Andai kesempatan itu datang lagi. 

0 komentar: