Sunyi,, ya memang
sunyi, namun tidak berarti sendiri, karena sunyi bukan berarti kita sendiri.
Kesunyian memang bukan karena tidak ada hal yang lain, namun karena kita tidak
memahaminya, bukan tidak... tapi belum.
Dulu aku berfikir,
akankah dunia selamanya akan diam kepada ku, mengapa dunia tidak ingin
bernyanyi padaku, mengapa mereka diam ? sebenarnya apa yang sedang mereka
bicarakan? Aku hanya bisa marah kepada diriku sendiri. Aku ungkapkan pun belum
tentu mereka mengerti.
Apakah terlahir seperti
ini itu pilihan ? tidak ada yang bisa menjawabnya. Mereka menjawab pun aku tak
akan dengar.
Ingin rasanya aku
bercerita seperti layaknya gadis – gadis yang lain, bermain, bercanda,
bernyanyi, bergurau, namun itu hanya impian yang harus ku buang jauh dari hati
ini, karena aku tau itu semua tidak akan terjadi.
Namun seiring
berjalannya waktu, umurku pun tak terasa sudah semakin dewasa , sudah
seharusnya aku menerima semua nya, walau sebelumnya aku berharap semua akan
berubah suatu saat nanti. Aku berfikir jika aku hanya terus mengeluh dan
menyesal, semuanya tidak akan pernah berubah, takdir ini tidak akan berubah
jika bukan aku sendiri yang mengawalinya. Aku tidak berharap lebih sekarang,
yang aku ingin hanya membahagiakan mereka, mereka yang telah merawat ku,
membesarkan ku, menyayangiku layaknya anak mereka sendiri.
Aku terlahir cacat, dan
yatim piatu. Ayah ku meninggal saat aku masih dalam rahim ibu ku, ibu ku
meninggal sesaat setelah melahirkan ku. Mungkin itu sedikit mengerikan, namun
memang begitu nyatanya. Andai saja aku memiliki kesempatan untuk kembali ke
masa lalu melihat senyum manis mereka, ahhhh...tapi ya sudah lah, mungkin hanya
lewat foto tua saat pernikahan mereka saja aku dapat melampiaskan rasa rinduku
ini pada mereka.
Bibi ku mengelus rambut
ku, lalu dia berbicara dengan menggunakan bahasa insyarat itu, karena hanya itu
bahasa yang dapat digunakan sebagai alat untuk berbicara dengan ku. Bibi bilang “ Sinta,
hari sudah semakin larut, tidak baik untuk kesehatan kamu jika terus duduk
didepan jendela”, dengan raut wajah yang lembut hingga aku tak dapat
menolaknya. Aku menganggukkan kepala dan berjalan beberapa langkah menuju
ranjangku. Ia menyelimuti ku dan mencium keningku dengan senyum manis yang
tersirat diraut wajah itu, dan aku hanya berharap bahwa dia adalah ibu ku.
Tanpa sadar aku pun tertidur pulas.
***
Pagi datang, embunpun
menghilang membuat jejak di setiap helai dedaunan, sinar matahari pun mulai
tampak dari ufuk timur, yang sinarnya menatap ku dari celah pepohonan. Segera
ku bergegas ke kamar mandi dan bersiap – siap untuk berangkat ke sekolah
seperti biasanya. Usaiku berpakaian segera ku menuju meja makan, ku lihat bi
Yani, paman Dayat (suami bi Yani), Doni
dan Riska (anak bi Yani dan paman Dayat)
sudah siap untuk menyantap sarapan pagi ini, memang mereka terlihat seperti
keluarga harmonis. Tapi di satu sisi aku melihat ada raut wajah yang
menunjukkan bahwa dia sedang marah dengan mulut yang menggumam dan tatapan mata
sinis yang sepertinya ditujukan pada ku, riska memang sedikit tidak menyukaiku,
entah apa alasannya dia sering memaki ku. Dengan cepat ku duduk di kursi yang
kosong diantara bik yani dan Doni, segera bik Yani mengambilkan ku nasi dan
lauk dengan senyuman yang sama. Tapi kulihat di sudut sana ada Riska yang
melihat ku dengan tatapan yang tajam. Bik Yani berbicara kepada Riska,”Riska, kamu ambil nasi sendiri ya karena
tangan mama tidak sampai” (berbicara dengan lembut) walau aku tak bisa mendengarnya namun aku bisa membaca gerak
bibir dari bik yani. Sebenarnya aku merasa tidak enak hati karena aku merasa
ada rasa iri di hati Riska, namun aku juga tidak bisa menolak kebaikan bik
Yani.
Setelah sarapan kami
langsung mulai dengan kesibukan kami masing – masing, Doni yang masih kelas 3
SMA dan Riska kelas 1 SMA pergi kesekolah bersama naik kendaraan umum, bik Yani
yang langsung membereskan bekas sarapan , dan paman Dayat yang bersiap untuk
berangkat kerja sebagai tukang bangunan dan sekaligus mengantarkan aku ke
sekolah. Umur ku sama seperti Riska, namun sekolah kita berbeda, karena aku
sekolah di Sekolah khusus untuk penyandang cacat. Aku tidak mempunyai banyak
teman di sekolah karena aku sulit untuk berinteraksi dengan mereka. Aku lebih
sering menyendiri di depan jendela kelas dan menatap ke arah jalanan yang ada
di depan sekolah ku, karena kelas ku berada di lantai 2 jadi aku dapat dengan
jelas melihat ramainya jalanan.
***
Aku duduk di halte bus
yang ada tepat di depan sekolah ku sembari menunggu paman menjemputku. Biasanya
paman menjemputku di waktu jam istirahatnya. Namun entah mengapa sudah 1 jam
lebih paman belum datang juga, aku jadi kawatir jika terjadi sesuatu dengan
paman. Aku masih duduk dan dengan melihat ke kanan dan ke kiri dan ke setiap
sudut halte sambil berharap tidak terjadi apa – apa dengan paman. Tiba – tiba
aku melihat lelaki yang sedang berjalan
ke arah ku, aku sedikit takut , aku berfikir jika dia berlaku jahat pada ku.
Dan tanpa sadar dia sudah duduk di sisi kanan ku, aku pura – pura tidak melihatnya,
sepertinya dia masih berumur 18 tahun. Aku terhentak karena dia memegang pundak
ku, ternyata dari tadi dia memanggilku namun aku tidak mendengarnya. Dia
bertanya pada ku “ Kenapa kamu belum
pulang?” dengan raut wajah yang sedikit membuatku gugup. Lalu aku menjawab
dengan bahasa isyaratku, “aku sedang
menunggu paman” (dengan sedikit menyeringai). Tapi aku lihat dia tidak mengerti dengan apa yang aku katakan,
lalu aku mengambil alat tulis dan segera menuliskan apa maksudku. Lalu dia
senyum pada ku, aku pun membalasnya. Tidak lama setelah itu dia memperkenalkan
nama nya pada ku dengan menulis dibuku yang sama, ternyata namanya adalah
Andre, dan dia juga menanyakan namaku, aku juga menulisnya di lembar yang sama.
Rasa takut ku mulai hilang dan berganti dengan rasa senang dan sedikit haru, karena
ini adalah kali pertama aku berbicara dengan seorang laki – laki yang baik
dengan ku selain dengan Paman dan Doni. Dan mulai saat itu kita berteman, dia
kuliah di universitas negeri di kota ku, rumahnya ternyata juga tidak jauh dari
rumah paman, hanya berbeda komplek saja. Baru kali ini aku bisa tertawa lepas,
dan rasanya sangat menyenangkan. Dan di sela tawa kami tiba – tiba paman datang
dan aku segera menghampirinya di pinggir halte, “ Maaf Sinta, paman telat menjemputmu, tadi paman harus menyelesaikan
tugas dari bos paman, itu siapa?” (tanya paman dengan muka cemas), “ itu teman Sinta paman, dia juga sedang
menunggu jemputan ayahnya” (jawabku). Aku segera naik ke atas motor sambil
memakai helm yang dibawa paman ku, kulihat dia masih tersenyum pada ku, paman
menyalakan motornya dan kami segera menuju ke rumah.
Sesampainya di rumah,
bibi langsung menghampiriku, dia terlihat sangat kawatir, karena tidak biasanya
aku pulang sampai sore. “Kamu dari mana
saja nak? Bibi kawatir, kamu tidak apa – apa kan?” (tanya bibi sambil
mengajakku masuk ke dalam rumah). “tidak bi, aku tidak kenapa – kenapa kok”
(jawabku sambil menenangkan bibi). “Tadi
ayah ada kerjaan mendadak buk dari bos ayah waktu jam istirahat, dan tidak bisa
digantikan dengan orang lain atau pun ditinggal, jadi ayah telat menjemput
Sinta pulang sekolah, maaf ya buk sudah bikin ibu kawatir dirumah” (terang
paman). “ Iya yah ibu maafin tapi lain
kali beri kabar orang rumah biar gak takut lagi” (dengan ekspresi yang
sedikit kesal dan bercampur dengan kawatir). Bibi langsung membawa ku ke kamar
dan bibi bertanya tentang apa yang aku lakukan saat menunggu paman. Aku
sebenarnya ragu ingin menceritakan yang sebenarnya, aku takut bibi marah, tapi
aku tidak ingin membohongi bibi, lalu aku menceritakan semua nya. Awalnya bibi
takut dan sedikit tidak yakin dengan Andre, karena bibi takut kalau andre itu
bukan anak baik – baik, tapi aku coba jelaskan pada bibi tentang Andre,”Andre itu rumahnya tidak jauh dari rumah
ini bi, dan dia tidak berprilaku jahat dengan ku, Andre malah nemenin Sinta
buat nungguin paman bi, Andre buat Sinta ketawa karena cerita lucunya, dan
Andre orangnya asik bi” (jelas ku dengan muka yang serius agar bibi yakin),
“ Iya deh bibi percaya kalau teman baru
kamu si Andre itu anak baik – baik, tapi inget jangan terlalu percaya dengan
orang lain yang baru Sinta kenal, karena bahaya. Banyak orang jahat di luar
sana yang harus kita waspadai. Inget pesen bibi, pokoknya Sinta harus hati –
hati”(saran bibi untuk ku).
***
Entah mengapa aku ingin
bertemu lagi dengan Andre, aku menunggunya di tempat kita pertama bertemu. di
setiap mata memandang tak sedikitpun aku melihatnya, sepertinya dia tidak lewat
jalan ini, karena sudah lama aku duduk dihalte ini namun dia belum
menghampiriku juga. Apa dia sudah lupa dengan janjinya bahwa hari ini dia akan
menemui ku lagi. Tapi mungkin saja dia sedang sibuk dengan jadwal kuliahnya
yang padat. “Andre” kata yang ku ucap saat aku terhentak karena ada yang
memegang tanganku, ketika ku lihat ternyata orang itu paman, untung saja kata
itu tidak jelas didengar oleh paman. “Ayo pulang” (kata paman mengajakku
pulang), aku menganggukkan kepala dan bergegas menghampiri sepeda motor paman.
Walau halte sudah hampir tak tampak, namun aku masih memandanginya, berharap
bahwa dia ada disana.
***
Hujan turun sangat
deras malam ini, airnya masuk melalui celah – celah ventilasi jendela kamarku,
kacanya pun sudah berembun. Malam ini adalah malam ke-17 sejak kita pertama
kali bertemu, dan sejak saat itu pula aku belum melihatnya lagi. Ditengah
tetesan hujan aku bertanya – tanya, sebenarnya kemana dia pergi? Apa dia
menyesal karena berteman dengan ku? Apa dia malu? Apa yang sebenarnya terjadi
dengannya? Aku kawatir dengan keadaannya.
***
Pertanyaan - pertanyaan
itu selalu muncul setiap saat, dan membuatku untuk mulai mencarinya. Ku mulai
mencari dari rumahnya, dan ternyata alamat yang ia berikan itu adalah palsu, tidak
ada anak bernama Andre dirumah itu. Aku kecewa, mengapa dia tidak berkata
jujur, aku hanya ingin punya teman yang baik, dan aku kira dia adalah orang
yang tepat, namun ternyata salah.
Malam semakin terasa
sepi dan bintang pun tak memancarkan sinarnya, lalu kepada siapa ku harus
bertanya, sedang bintang sembunyi di balik gelapnya malam. Kini aku hanya bisa
melihat tulisan pena saat kita pertama bertemu, walau hanya beberapa lembar
saja, namun itu sudah cukup untuk mengobati rasa yang bergejolak ini.
***
Aku menunggu paman
seperti biasanya, tapi jalanan sangat macet hari ini, karena diujung jalan ada
genangan air setinggi lutut yang bisa membuat mesin kendaraan bermotor jadi
berhenti. Mungkin kali ini paman akan terlambat lagi menjemputku. Banyak sekali
aku melihat orang yang lebih memilih jalan kaki dibanding naik kendaraan umum
yang macet. Dan tiba – tiba aku melihat ada seorang pria yang mengenakan topeng
berbentuk smile diantara banyak orang yang sedang berlalu lalang, lucu tapi
harus kutahan karena ku tak mau orang bertopeng itu tersinggung. Tapi kenapa orang
itu malah duduk disampingku. Aku tidak berani melihatnya karena ku takut tak
bisa menahan ketawa lebih lama lagi. Dan ternyata orang dibalik topeng itu
adalah Andre, perasaanku semakin bercampur aduk antara senang dan kecewa. Ia meletakkan
topeng smile itu di tanganku dengan wajah yang sangat lucu, dan dia menulis di
sebuah kertas, “Jangan sedih lagi ya, aku
disini, ini foto untuk Sinta,semoga bisa bermanfaat jika Sinta kangen sama
Andre”.dibalik kertas ternyata ada foto Andre waktu masih kecil, aku
bingung mengapa dia memberikan foto kecilnya, mengapa bukan foto Andre yang sekarang.
“terima kasih” (jawab ku). Tapi dia
tidak lama menemaniku, sepertinya dia sedang terburu – buru, “aku pergi dulu ya Sinta, sampai jumpa lagi”
belum sempat ku jawab namum dia sudah tak ada lagi dihadapanku.
***
Aku selalu menceritakan
apa yang aku alami kepada bibi, karena bibi yang selalu mengerti aku. Dan aku
pun memberikan foto dari Andre kepada bibi, aku melihat ekspresi wajah bibi
yang sepertinya mengenali anak yang ada di foto itu. “ini Andre kakak mu ,Sinta” ujar bibi pada ku. Aku masih belum
percaya, tapi tidak mungkin bibi berbohong pada ku. Tak ku sangka aku mempunyai
seorang kakak yang hampir saja aku jatuh cinta padanya. Tapi mengapa tidak ada
yang menceritakannya padaku. Paman pun tak mengenalinya, mungkin karena paman melihatnya
dari kejauhan, dan memang mereka sudah lama tak bertemu. dan bibi menceritakan
semuanya . ternyata kakak ku tinggal dengan nenek, dan memang kami sengaja di
pisahkan, tapi bibi tidak bilang alasannya.
Sejak saat itu aku tak
pernah bertemu lagi dengan kak Andre, padahal aku ingin memeluknya walau hanya
sekejap saja. Aku baru sadar bahwa masa lalu ku memang penuh misteri. Andai kesempatan
itu datang lagi.
0 komentar:
Post a Comment